Banner 468 x 60px

 

Kamis, 16 Februari 2012

ETIKA BERPOLITIK

0 komentar
a. Etika Berpolitik


Menghargai setiap perbedaan merupakan Etika berpolitik yang sangat dianjurkan dalam Islam, perbedaan dalam cara pandang tentang berpolitik hendaknya dijadikan sebuah cabaran agar setiap proses politik yang kita lakukan selalu tetap berada dalam jalur dan nilai-nilai Islam.

Persoalan etika politik adalah sesuatu yang sangat penting dalam Islam, karena berbagai alasan. Pertama, politik itu dipandang sebagai bagian dari ibadah, karena itu harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip ibadah. Misalnya, dalam berpolitik harus diniatkan dengan "lillahi ta'ala". Dalam berpolitik, kita tidak boleh melanggar perintah-perintah dalam beribadah, karena pelanggaraan terhadap prinsip-prinsip ibadah dapat merusak "kesucian" politik.

Kedua, etika politik dipandang sangat perlu dalam Islam, karena politik itu berkenaan dengan prinsip Islam dalam pengelolaan masyarakat. Dalam berpolitik sering menyangkut hubungan antarmanusia, misalnya saling menghormati, saling menghargai hak orang lain, saling menerima dan tidak memaksakan pendapat sendiri. Itulah prinsip-prinsip hubungan antarmanusia yang harus berlaku di dalam dunia politik.

Kecuali itu, keberadaan masyarakat dan negara merupakan hal yang sangat penting dan mutlak dalam Islam. Karena itu, beberapa ahli fikih politik Islam mengemukakan adalah suatu kewajiban bagi orang Islam untuk mendirikan negara. Dengan adanya negara bisa diciptakan sebuah keteraturan kehidupan masyarakat yang baik, sehingga pada gilirannya umat Islam bisa menyelenggarakan ibadah-ibadahnya dengan baik pula.

Bila hubungan antar masyarakat dan dan penyelenggaran negara tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, maka yang akan muncul adalah kekacauan dan muncul anarki yang sangat dikecam oleh para ulama. Kekacauan dan anarki dalam suatu masyarakat dan negara dapat mengganggu penyelenggaraan ibadah.


b. Etika Dalam Berpolitik
 “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar- benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Q. s., Al- Nisā/4:59).
Pembicaraan tentang etika adalah pembicaraan tentang moral. Etika adalah batu sendi bagi kehidupan bermasyarakat. Manusia sebagai makluk politik (zoon  politicon: binatang politik) memerlukan batu-batu sendi itu untuk menjadi perekat  perilaku-perilaku sosial yang berakhlak dan beretika di dalam sebuah masyarakat.  Karena itu, dalam politik keberadaan etika sangat penting.
Politik adalah seni mengatur masyarakat. Politik bukanlah wujud kotor yang harus dijauhi. Ungkapan “politik itu kotor” hanya benar bila di dalam politik itu tidak ada etika atau akhlak. Kita sebagai bangsa relijius harus mengisikan muatan-muatan etis dan moral ke dalam politik. Tanpa misi ini, politik akan terus menjadi wilayah abu-abu yang banyak menghadirkan kemadaratan ketimbang kemaslahatan. Umat Islam tidak perlu pesimis terhadap masalah politik, karena sikap pesimis justru akan menjauhkan jarak politik dengan pemerintah. Mengedepankan sikap optimis (husnudzan) justru lebih baik karena ia menjadi media dialog dan komunikasi politik yang baik. Inilah salah satu akhlak politik yang diajarkan oleh Islam.

c. Khazanah Etika Dalam Politik Islam
Islam merupakan agama moral. Ibnul Qayyim bahkan mengatakan bahwa semua isi agama adalah etika. “Barangsiapa bertambah etikanya, maka bertambah pula agamanya”, kata Ibnul Qayyim. Ungkapan ini menunjukkan perhatian Islam terhadap masalah moral dan etika yang tujuannya adalah untuk menegakkan kehidupan yang lebih adil, harmonis, dan kemauan untuk bekerja sama. Selain itu, sebuah Hadis Nabi mengatakan, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan budi pekerti” (Riwayat Ibnu Sa’ad dan Bukhari, Jāmi’ al-Saghîr, 2349).
Logika hadis ini hendak mengemukakan bahwa masyarakat tidak akan sempurna tanpa moral atau budi pekerti (akhlak). Nabi tidak perlu diutus jika tidak ada misi penyempurnaan moral. Masalah moral, karena itu, terkait dengan kehidupan bersama baik di dalam masyarakat maupun negara. Kumpulan orang-orang di dalam suatu masyarakat harus diikat oleh suatu konsensus-konsensus sosial yang bermoral sehingga kepentingan setiap orang tidak saling bertabrakan. Itulah sebabnya, kepemimpinan dibutuhkan untuk mengorganisasikan berbagai kepentingan itu dalam wadah sistem politik.
Dalam Islam, masalah politik setua Islam itu sendiri. Pemerintahan Nabi Muhammad SAW di Madinah adalah pemerintahan yang berjalan berdasarkan moral al-Qur’an. Hukum ditegakkan dan ketidakadilan tak boleh hidup di sana. Selama pemerintahannya, Nabi di samping berpegang pada wahyu juga mengajak bermusyawarah dengan para sahabatnya. Karena itu, tidak ada gerakan perlawanan yang menggerogoti pemerintahannya. Hal ini terjadi karena dua hal.Pertama, pemerintahan Nabi Muhammad SAW berlandaskan etika.Kedua, tindakan makar tidak diperkenankan karena ia sama dengan melanggar kepatuhan kepada ulil amr dan Rasulullah.
Laporan-laporan tertulis menyebutkan bahwa ketika di Mekah, Nabi biasa dihina dan dicaci-maki. Tidak ada tindakan kepada para penghinanya, malah  dimaafkan. Hal ini terjadi karena di Mekah Islam belum menjadi sebuah masyarakat. Tetapi ketika di Madinah, orang yang menghina Nabi Muhammad SAW dihukum bunuh. Imam al-Syaukani dalam Nailul Athār Jilid VII, h. 213-115 mengemukakan hadis riwayat Ali bin Abi Thalib yang berbunyi, “Bahwa ada seorang wanita Yahudi  yang sering mencela dan menjelek-jelekkan Nabi SAW, lalu perempuan itu dicekik sampai mati oleh seorang laki-laki. Ternyata Rasulullah SAW menghalalkan darahnya” (HR. Abu Daud). Riwayat ini dikemukakan untuk menunjukkan bahwa dalam politik itu ada etika sehingga cara mengkritik yang merongrong kewibawaan suatu pemerintahan adalah sebuah pembangkangan yang bisa mendorong pada tindakan makar. Kritik haruslah disampaikan secara konstruktif dan dengan alasan- alasan yang rasional serta mengedepankan etika moral sehingga ia berguna bagi perubahan-perubahan kebijakan pemerintahan.
Selanjutnya, dalam pemerintahan para Khulafā’ al-Rāsyidin juga telah menampilkan sebuah etika pemerintahan. Supremasi hukum ditegakkan dan kepentingan rakyat dikedepankan. Masa pemerintahan Khulafā’ al-Rāsyidin dinilai banyak sejarahwan sebagai paling etis, bermoral, dan demokratis meski ada sejumlah kelemahan-kelemahan. Namun kelemahan-kelemahan itu ditutup oleh kecemerlangan etis yang menghadirkan keadilan dan rasa aman. Pengakuan ini, misalnya, diakui oleh sejarahwan non-Muslim seperti Robert N. Bellah dan Wilfred Cantwell Smith.
Pelajaran praktik politik dalam sejarah Islam di atas harus menjiwai moral masyarakat Indonesia. Para pemimpin bangsa harus mengusung tema-tema moral dan etika sebagai dasar kepemimpinan politik. Dengan dasar etika, sebuah kepemimpinan akan menampilkan keadilan, keluhuran budi, kepekaan terhadap rakyat, dan memiliki visi kesejahteraan bagi semua.
Penguatan Jiwa Moral Politik Umat
Pasca Orde Baru, sistem politik di Tanah Air telah banyak berubah. Tetapi perubahan itu masih di tataran prosedural (aturan-aturan politik) dan belum menyentuh kebaikan-kebaikan di tingkat masyarakat. Sekalipun begitu, arah perubahan ini sudah  baik dan pemerintah bersama DPR telah berusaha menyempurnakannya.
Dalam konteks umat Islam sebagai mayoritas, praktik politik belum menyuguhkan kebajikan-kebajikan moral bagi umat. Praktik politik masih terus dinodai oleh praktik-praktik korupsi yang akut. Sehingga umat Islam tidak memperoleh pelajaran moral dalam masalah politik.
Karena itu, umat Islam terus bersama kekuatan bangsa yang lain termasuk pemerintah mendukung proyek pemberantasan korupsi dan penegakan hukum. Selain itu, umat Islam menginginkan agar partai-partai politik yang ada menjiwai moral masyarakat pemilihnya. Keunggulan etika para pemimpin akan membentengi moral masyarakat sehingga rakyat menaruh kepercayaan tinggi pada para pemimpinnya.
         Jadi, pembangunan moral dan etika politik harus lahir dari para pemimpin. Umat atau rakyat yang memiliki kearifan-kearifan tradisi dan moral agama harus terus dikuatkan lagi melalui keteladanan para pemimpinnya. Dari sinilah sebutan bangsa relijius yang melekat pada bangsa kita akan menemukan kekuatannya baik di tingkat sosial masyarakat maupun di tingkat praktik politik. Jika demikian, misi Nabi Muhammad SAW untuk menyempurnakan akhlak masyarakat terus berlangsung di dalam hiruk-pikuk politik Tanah Air. Kita pun menjadi optimis bahwa hajat politik Pemilu 2009 dengan seluruh tahapannya akan berjalan lancar dengan topangan etika politik yang luhur. Wallāhu A’lamu Bis-Shawāb

Oleh sebab itu, dalam kaitannya dengan Pemilukada Kabupaten Lombok Barat kali ini, maka merupakan suatu kewajiban bagi masyarakat untuk mengurus, memelihara dan mengatur pemerintahannya sendiri. Masyarakat Lombok Barat harus menentukan nasibnya sendiri. Siapa yang akan dipercaya untuk menjadi Imam atau Pemimpin Masyarakat Lombok Barat untuk lima tahun ke depan ditentukan oleh masyarakat Lombok Barat sendiri. Dan Pemimpin yang dipilih akan sangat menentukan nasib masyarakat Lombok Barat sendiri. Untuk itu masyarakat harus mengetahui dan memahami etika memilih elite politik. Bagaimana? 
Baca artikel yang berjudul etika memilih elite olitik pada sub-menu berikutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar