Banner 468 x 60px

 

Kamis, 16 Februari 2012

ETIKA MEMILIH ELITE POLITIK

0 komentar

Memilih seorang pemimpin alias mencoblos dalam pemilihan umum (pemilu) adalah hak setiap individu atau warga. Namun, menjelang pemilu, sebagian masyarakat mencoba melakukan pemboikotan pemilu. Gerakan boikot pemilu ini kemudian dikenal sebagai golongan putih atau golput. Fenomena golput bukan hal baru dalam sejarah perpolitikan Indonesia. Gerakan golput sebenarnya telah dimulai pada pemilu 1971. Ketika itu, pemilu yang diselenggarakan pemerintah Orde Baru tersebut diikuti 10 partai politik (parpol), yang justru "direstui" oleh rezim Soeharto. Dan, setelah pemilu 1971, jumlah parpol yang boleh hidup di dunia politik Indonesia menjadi 3 parpol: PPP, Golkar, dan PDI. Munculnya gerakan golput pada pemilu 1971 tersebut, karena pemerintah dianggap melanggar dan gagal dalam membangun asas-asas demokrasi.

Belakangan ini, ketika masyarakat Indonesia umumnya dan Aceh khususnya hendak menghadapi pesta demokrasi (pemilu) 2009, fenomena golput kembali dibicarakan. Terlebih lagi di Aceh, yang tingkat pesimesme masyarakat terhadap partai politik kian hari kian meningkat.

Memang, sejak 1998 lalu, Indonesia telah mengalami beberapa perubahan menuju demokrasi. Partai politik didirikan dengan jumlah yang cukup banyak. Namun, banyaknya partai politik itu tidak dibarengi dengan kualitas elite alias pemimpin politik, yang kemudian dikenal dengan gerakan antipolitisi busuk. Dan, golput pun kembali menjadi pilihan alternatif. Artinya, munculnya gerakan golput pada pemilu 2009 ini, karena masyarakat atau elite politik gagal memberikan alternatif pemimpin yang baik, jujur, dan akhlaqul karimah.

Yang menjadi masalah, kalau memang ada golput di dalam masyarakat, lalu kepada siapa kita menyerahkan urusan negara ini, dan mekanisme apa yang akan dilakukan dalam suatu pemilihan pemimpin? Dengan demikian, sebenarnya di dalam golput sendiri ada persoalan bagi masyarakat. Bahkan, tidak hanya golputnya yang menjadi masalah, tetapi ada yang lebih substansial, yaitu mekanisme apa yang bisa menyelamatkan negara untuk menciptakan keamanan, kenyamanan, ketertiban politik, dan lain-lain.

Islam menyayangkan sikap-sikap golput atau tidak berpartisipasi dalam pemilihan pemimpin. Sebagai agama rahmatan lil 'alamin, Islam sangat mementingkan suatu kepemimpinan dalam sebuah negara. Bahkan, setelah Nabi Muhammad wafat timbul persoalan politik yang berkaitan dengan pergantian kepemimpinan. Mekanisme pemilihan pemimpin memang tidak ada pada zaman Rasulullah. Nabi SAW tidak memberikan pedoman khusus atau model-model kepemimpinan bagi umat Islam.

Selama beberapa tahun sepeninggal Rasulullah, umat Islam mengalami beberapa model kepemimpinan, antara lain, kepemimpinan model khilafah dan dinasti.

Belakangan ini, dinamika politik semakin berkembang, dan muncul bentuk-bentuk negara, seperti republik, aristokrasi, dan lain-lain. Dinamika politik yang luar biasa itu didorong oleh semangat teologi Islam, yang menyebutkan bahwa "Hai, orang-orang yang beriman. Taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu." (QS Al-Nisaa [4]:59).

Realitas politik dan adanya semangat teologi Islam tersebut mendorong para filosof dan para ahli etika politik Islam untuk membuat aturan-aturan pemilihan seorang pemimpin pemerintahan demi terwujudnya negara ideal dalam beberapa karya tulis. Misalnya, Al-Farabi dalam karyanya, Al-Madiinah Al-Faadhilah, Ibnu Maskawih dalam bukunya Tahziib Al-Akhlak, dan Al-Mawardi dalam karyanya Al-Ahkaam Al-Shultaaniyah. Ini artinya, para pemikir Islam menyadari betapa Islam memperhatikan dalam menciptakan dan mengembangkan negara ideal.

Memasuki abad 20 ini, umat Islam tetap dan terus dituntut untuk mendirikan sebuah negara ideal. Untuk merealisasikan tuntutan itu, umat Islam dihadapkan pada beberapa pilihan sistem politik, antara lain demokrasi. Demokrasi merupakan salah satu mekanisme untuk memilih seorang pemimpin. Meskipun beberapa negara Islam telah menjalankan proses demokrasi, dan belum berhasil, tetapi mekanisme demokrasi tetap diandalkan sebagai mekanisme yang baik. Sebab, di dalam mekanisme demokrasi terdapat sistem check and balance-nya, memperkuat civil society, mewujudkan good governance, taushiyah, dan lain yang, selalu berproses dan membutuhkan kesabaran, ketangguhan, dan lainnya untuk bisa maju ke depan.

Jahiliyah politik: melanggar etika

Secara sederhana, jahiliyah itu kita artikan sebagai sebuah kebodohan, bisa juga tidak peduli pada kebenaran. Dalam konteks situasi politik kita sekarang-dalam batas-batas tertentu, hal-hal yang bersifat jahiliyah itu memang sering terjadi di dalam dunia politik kita. Kebodohan dalam berpolitik terjadi, misalnya, menduduki kantor-kantor partai politik, melakukan kekerasan, tokoh politiknya asal main pecat kalau ada anak buahnya beda pendapat, atau tidak bermusyawarah dengan baik-padahal Islam mengajarkan, "Hendaknya kamu bermusyawarah di antara kamu. " Hal-hal tersebut cerminan jahiliyah.

Aceh sebagai satu-satunya wilayah di Indonesia yang jumlah partai politik nya lebih banyak dari daerah lain, karena adanya partai politik lokal sangat rentan terhadap terjadinya jahiliyah politik, hal ini dapat kita lihat dan kita baca di media massa, bagai mana persaingan yang sangat-sangat tidak sehat antara partai politik yang ada di Aceh, baik itu partai lokal dengan partai Nasional dan partai lokal dengan partai lokal. Mulai dari bentuk intimidasi bahkan ada yang sampai melakukan kekerasan fisik. Padahal sama-sama kita ketahui proses pemilu masih sangat lama, namun para partai politik yang akan bertarung pada pemilu 2009 nanti sudah mulai melncarkan aksi-aksi politik jahilyah dan sangat-sangat tidak menghormati nilai-nilai politik yang telah di terapkan dalam Islam.

Fenomena seperti itu memang susah kita elakkan, karena manusia memiliki hawa nafsu yang tidak terkendali yang menjadi bagian dari dirinya. Setiap orang bisa lebih dikuasai oleh hawa nafsunya, apalagi menyangkut politik dan berhubungan dengan kekuasaan. Ada kata-kata seorang politisi asal dari Inggris yang menyebutkan, bahwa the power tends to corrupt. Apalagi kalau kekuasaan itu absolut yang tidak bisa dikontrol dengan check dan balance, maka akan lebih merusak lagi.

Karena itulah maka sesuai dengan prinsip Islam, kita harus melakukan tausiyah bi al-haq wa bi al-shabr (saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran). Apalagi pada masa sekarang, ada kecendrungan di dalam dunia politik kita, bahwa kita sering kehilangan kesabaran, yang bisa dalam bentuk tindakan anarkis, golput, tidak mau memilih dalam pemilu. Hal-hal tersebut menggambarkan realitas jahiliyah dalam politik kita.

Realitas jahiliyah politik bisa dapat kita lihat dari adanya sekelompok orang yang menginginkan adanya satu partai tunggal bagi umat Islam. Keinginan itu tidak mungkin bisa terjadi dan terwujud dalam politik kita. Pada masa-masa awal Islam saja, kita melihat adanya kelompok Muhajirin dan Anshar yang bertentangan dalam pemilihan siapa yang menjadi pemimpin setelah Nabi wafat. Pengelompokan itu harus kita sikapi sebagai suatu sunnatullah. Yang penting adalah penyikapan secara bijak, toleran, dan tidak hanya memandang hizb (partai/golongan) kita sendiri sebagai yang paling baik, benar, yang bisa mengantarkan ke surga. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar